BAB II
PEMBAHASAN
A.
Dasar-Dasar Ekonomi
Islam
Muhammad
Syauqi al-Fanjari merumuskan pengertian ekonomi Islam dengan rumusan yang
sederhana. Ekonomi Islam adalah aktivitas ekonomi yang diatur sesuai dengan dasar-dasar dan prinsip-prinsip
ekonomi Islam. Dari rumusan ini, ia menyimpulkan bahwa ekonomi Islam itu
mempunyai dua bagian, yaitu : pertama bagian yang tetap (tsabit) yang
berhubungan dengan prinsip-prinsip dan dasar ekonomi Islam yang dibawa oleh
nash-nash Al-Qur’an dan Sunnah yang harus dipedomani oleh setiap kaum muslimin
di setiap tempat dan zaman. Yang termasuk bagian ini adalah :
a.
Dasar bahwa harta benda itu
milik Allah dan manusia diserahi tugas untuk mengelolanya tercantum dalam (QS An-Najm :31)
وَلِلَّهِ
مَا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِي ٱلۡأَرۡضِ ٣١
Dan hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan di bumi.
b. Dasar bahwa jaminan setiap
individu di dalam masyarakat diberikan dalam batas kecukupan seperti yang
tercantum dalam (QS Al-Ma’aarij : 24-25).
وَٱلَّذِينَ فِيٓ أَمۡوَٰلِهِمۡ حَقّٞ
مَّعۡلُومٞ ٢٤ لِّلسَّآئِلِ وَٱلۡمَحۡرُومِ ٢٥
Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu. Bagi
orang-orang miskin yang meminta dan orang-orang yang tidak mempunyai apa-apa
(orang yang tidak mau meminta).
c. Dasar bahwa keadilan
sosial dan pemeliharaan keseimbangan ekonomi diwujudkan untuk semua individu
dan masyarakat Islam tercantum dalam (QS Al-Hasyr : 7).
كَيۡ
لَا يَكُونَ دُولَةَۢ بَيۡنَ ٱلۡأَغۡنِيَآءِ مِنكُمۡۚ ٧
Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang yang kaya saja di
antara kamu.
d. Dasar bahwa milik pribadi
dihormati. (QS An-Nisaa’ : 32)
وَلَا
تَتَمَنَّوۡاْ مَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بِهِۦ بَعۡضَكُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖۚ لِّلرِّجَالِ
نَصِيبٞ مِّمَّا ٱكۡتَسَبُواْۖ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٞ مِّمَّا ٱكۡتَسَبۡنَۚ وَسَۡٔلُواْ
ٱللَّهَ مِن فَضۡلِهِۦ ٣٢
Dan janganlah kamu iri terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada
sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain, karena bagi orang laki-laki
ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi para wanita pun ada bagian
dari apa yang mereka usahakan.
e. Dasar bahwa kebebasan
ekonomi terbatas, disebabkan haramnya beberapa aktivitas ekonomi yang
mengandung pemerasan, monopoli atau riba. (QS An-Nisaa’ : 29)
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ
إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ
أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا ٢٩
Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara
kamu dengan jalan yang batil kecuali atasa dasar suka sama suka di antara kamu.
f. Dasar bahwa pengembangan
ekonomi itu bersifat menyeluruh (QS Al-Jumu’ah : 10).
فَإِذَا
قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَٱبۡتَغُواْ مِن فَضۡلِ ٱللَّهِ
وَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ كَثِيرٗا لَّعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ١٠
Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebarlah kamu di muka bumi, dan
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu
beruntung.
Kedua , bagian yang berubah (al-mutaghaiyar),
bagian ini berkaitan dengan penerapan dasar-dasar dan prinsip ekonomi Islam dalam
memecahkan problematika masyarakat yang selalu berubah. Artinya, bagian ini
merupakan metode dan langkah-langkah praktis yang disingkapkan oleh para ulama
dari sumber pokok dan prinsip ekonomi Islam yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadis.
Kemudian ditransfer ke dalam realitas sosial. Seperti persoalan praktik ekonomi
yang dinilai mengandung riba atau dalam bentuk keuntungan yang diharamkan,
penjelasan tentang ukuran batas upah minimum, langkah-langkah perencanaan dan
pengembangan ekonomi dan lain sebagainya. Dalam bagian ini peluang berijtihad
senantiasa terbuka.[1]
B. Landasan-Landasan Hukum
Ekonomi Islam
1. Al-Qur’an
Kedudukan Al-Qur’an
sebagai sumber utama dan pertama bagi penetapan hukum, maka apabila seseorang
ingin menemukan hukum untuk suatu kejadian, tindakan pertama yang harus
dilakukan adalah mencari penyelesaiannya dari Al-Qur’an. Selama hukumnya dapat
diselesaikan dengan Al-Qur’an, maka ia tidak boleh mencari jawaban lain di luar
Al-Qur’an.
Kekuatan hujjah Al-Qur’an sebagai sumber dan dalil hukum syariah termasuk
di dalamnya syariah perekonomian terkandung dalam ayat Al-Qur’an yang
memerintahkan umat manusia mematuhi Allah SWT. hal ini disebutkan lebih dari 30
kali dalam Al-Qur’an. Perintah mematuhi Allah itu berarti perintah mengikuti apa
pun yang difirmankan-Nya dalam Al-Qur’an.
2. As-Sunah
Dasar hukum hadits
atau sunah sebagai rujukan setiap persoalan termasuk bidang manajemen setelah Al-Qur’an adalah surat
Al-Hasyr ayat 7 : “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan
apa yang dilarang bagimu, maka tinggalkanlah”.
Abdul Manan (1993)
menegaskan bahwa kini tiba saatnya untuk menafsirkan dan menginterpretasikan
hadits tidak semata-mata dalam bentuk harfiah, tetapi juga dalam jiwanya.
Penafsiran hadits dan sunnah harus memperhatikan perspektif sejarah, oleh
karena itu dalam suatu masyarakat yang berkembang dengan cepat, penafsiran
kitab suci Al-Qur’an dan As-Sunnah harus menjadi tuntutan bagi pemahaman dan
tidak untuk formalisme semata.
3. Ijma’
Ijma’ adalah sumber ketiga hukum islam – merupakan konsensus baik
dari masyarakat maupun para cendikiawan agama. Perbedaan konseptual antara Sunnah dan Ijma’ terletak pada kenyataan
bahwa Sunnah pada pokoknya terbatas pada
ajaran – ajaran Nabi dan diperluas kepada para sahabat karena mereka merupakan
sumber bagi penyampaiannya, sedangkan Ijma’ adalah
suatu prinsip isi hukum baru yang timbul sebagai akibat dalam melakukan
penelaran dan logikanya menghadapi suatu masyarakat yang meluas dengan cepat,
seperti halnya dengan masyarakat Islam dini, yang bermula dengan para sahabat
dan diperluas kepada generasi – generasi berikutnya.
C.
Dasar Filosofi Ekonomi Islam
Islam merupakan agama yang universal yang mudah dimengerti dan
dirasionalkan. Islam sangat didasari oleh tiga pilar utama yaitu : Tauhid (unity), Khilafah (vicegerency) dan ‘Adalah (justice). Prinsip itu
tidak saja menjadi bingkai bagi pandangan dunia Islam, tapi juga merupakan
pilar utama dari strategi dan maqasid
syari’ah (tujuan syari’ah).
Karenanya, pilar-pilar baik maqasid, pandangan dunia Islam (Islamic worldview) dan juga strategi berada pada posisi
harmoni.
1.
Tauhid (Divine Unity)
Tauhid
(keesaan Allah SWT) merupakan fondasi yang sangat mendasar dari agama Islam.
Konsep ini melandasi seluruh strategi dan pandangan Islam. Segalanya memancar dari
konsep Tauhid. Ini berarti alam semesta secara sengaja diciptakan oleh penguasa
dunia yang sifatnya esa dan karenanya penciptaan ini bukan tercipta dengan
sendirinya. Di antara bukti keesaan Allah SWT seperti yang tergambarkan pada ayat “Ya
Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia”. Seperti juga
yang terdapat pada surat Shad ayat 27 “dan kami tidak menciptakan langit dan
bumi dan apa di antara keduanya tanpa hikmah, yang demikian itu anggapan
orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu, karena mereka akan
masuk neraka.
Dengan demikian dunia dan seluruh isinya adalah milik Allah di mana seluruh
harta dan kekayaan, kepemilikan, sumber-sumber alam adalah milik Allah secara
mutlak. Oleh karena itu, seluruh manusia harus beraktivitas dalam mengupayakan
sumber-sumber kekayaan ini sesuai dengan kehendak Ilahi. Jadi berbeda dengan
kapitalisme dan marxisme di mana hak kepemilikan itu ada pada individu dan
ploretariat. Oleh karena itu, hak kepemilikan di dalam sistem ekonomi Islam tidak
mutlak tapi terbatas. Manusia hanya diberi hak sebagai khalifah (pengusaha) untuk mengoptimalkan
sumber itu dan harus mampu mempertanggungjawabkan usahanya.
2.
Khalifah
Manusia adalah khalifah di muka bumi yang berusaha untuk mengoptimalkan
pendayagunaan seluruh isi alam. Dalam bingkai khilafah, dia bisa bebas untuk
berfikir, berbuat, memilih mana yang hak dan batil, adil dan tidak, merubah
hidupnya namun jika ia salah memilih dan berbuat, maka ia tercampak dari
bingkai tersebut.
Kekayaan alam ini sebenarnya mencukupi seluruh kebutuhan manusia jika ia
digunakan secara efisien dan adil sehingga tidak wujud kelangkaan dalam
kewujudan (scarcity in existence) karena Allah Swt telah menyediakan
sumber kekayaan alam secukupnya. Namun kelangkaan itu lebih terletak pada
keterbatasan manusia di dalam memanfaatkan ilmu serta wujudnya ketidakadilan di
dalam distribusi (scarcity in availabilty). Sebagai contoh, ketika ilmu
pengetahuan belum berkembang di Arab Saudi tidak mengetahui bahwa dalam buminya
terdapat kekayaan minyak. Namun setelah ilmu pengetahuan dan penggunaan
teknologi semakin maju maka kekayaan itu baru bisa dinikmati.
Konsep khalifah mempunyai beberapa implikasi dalam sistem ekonomi Islam di
antaranya : pertama, persaudaraan yang universal. Dalam hal ini khalifah
memiliki makna persatuan dan persaudaraan manusia. Manusia semua sama, baik
hitam, putih, tinggi, pendek, dan sebagainya. Kriteria yang bernilai dari
mereka bukannya sukunya, bangsanya tapi karakternya (akhlaknya). Karenanya
diperlukan pengorbanan dan kerja sama dan bukannya “the survival of the fittest”
atau teori hukum rimba.
Kedua,kekayaan adalah amanah.
Karena seluruh sumber-sumber kehidupan telah diberikan oleh Allah, maka manusia
sebagai khalifah bukanlah pemilik tunggal, tapi dia hanya manusia yang
diberikan kepercayaan untuk mengolahnya. Sedangkan pilar yang ketiga adalah
muslim percaya adanya hari hisab (the day of judgment). Hal ini membawa
implikasi yang cukup besar di dalam aktivitas perekonomian dan tingkah laku
manusia. Ketika ia ingin melakukan sesuatu (dalam transaksi, konsumsi,
produksi, distribusi atau mengaplikasikan kebijaksanaan moneter, fiskal dan
lainnya) maka tindakannya itu mempunyai dampak yang harus diterimanya pada hari
hisab.
3. ‘Adalah (Keadilan)
Konsep kekeluargaan (brotherhood) yang merupakan gabungan dari konsep tauhid dan khilafah tidak akan
berarti jika tidak diikuti oleh keadilan social ekonomi. Keadilan merupakan
kunci bagi maqasid syariah dan tidak ada wujud satu masyarakat Islami
jika masih belum ditegakkan keadilan. Karenanya islam menolak segala kezaliman
seperti ketidakadilan, eksploitasi, tekanan, prilaku salah sehingga menjadikan
seseorang itu tidak memenuhi tugasnya kepada mereka. Lebih dari itu, keadilan
merupakan misi utama dari diutusnya nabi (Q.S Al-Hadid :25). Bahkan islam telah
meletakkan keadilan iru dekat dengan takwa (Q.S Al-Maidah : 8).
Keadilan dalam mengupayakan dan memanfaatkan
sumber-sumber kekayaan alam ini demi untuk merealisasikan tujuan syariah (maqasid syari’ah) di antaranya melalui :
a.
Penjaminan terhadap kebutuhan dasar. Pertama
Negara wajib menjamin kebutuhan dasar dari penduduknya, bahkan dalam hadis,
kata Nabi Saw, “bukanlah yang beriman tidur dengan kekenyangan manakala
tetangganya kelaparan”. Oleh karena ini merupakan tanggungjawab
bersama (fardu kifayah).
b.
Mendapatkan sumber
kehidupan dengan cara yang terhormat. ‘Adalah merupakan fard’ain bagi setiap individu untuk
mencari sumber kehidupan. Dan jika terdapat anggota masyarakat yang cacat atau
tak mampu mencari sumber kehidupan itu, maka masyarakat harus ikut membantu,
baik melalui penyaluran zakat ataupun shadaqah dan wakaf.
c.
Distribusi pendapatan dan
kekayaan yang adil. Jurang kekayaan yang begitu menyolok sangat tidak
diinginkan. Jurang itu hanya dibenarkan jika ia berlaku disebabkan wujudnya
kepakaran, inisiatif, usaha dan resiko. Artinya suatu hal yang wajar ketika
sebagian kelompok manusia telah meletakkan kepakaran, modal dan inisiatif usaha
serta berhadapan dengan berbagai resiko mendapatkan pendapatan yang lebih besar
yang pada akhirnya menciptakan perbedaan pada sisi jumlah harta dan kekayaan
dibandingkan dengan sekelompok masyarakat lainnya. Hal seperti ini bukanlah
suatu ketidakadilan.
d.
Pertumbuhan dan stabilitas.
Diperlukan efisiensi yang cukup maksimum sehingga mampu memicu pertumbuhan
ekonomi sehingga mampu menolong golongan yang lemah dengan bertambahnya sumber
kekayaan yang tentunya didistribusikan dengan adil. Stabilitas pula mampu
menolong mengurangi penderitaan akibat dari resesi, inflasi dan meroketnya
harga atau nilai tukar mata uang. Karenanya tingginya tingkat tingkat
pertumbuhan ekonomi dan minimnya ketidakstabilan adalah sangat penting untuk
mengisi keberadaan khilafah dan ‘adalah[2]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam adalah satu-satunya
agama yang sempurna yang mengatur seluruh sendi kehidupan manusia dan alam
semesta. Kegiatan perekonomian manusia juga diatur dalam Islam dengan prinsip
illahiyah. Harta yang ada pada kita, sesungguhnya bukan milik manusia,
melainkan hanya titipan dari Allah SWT agar dimanfaatkan sebaik-baiknya demi
kepentingan umat manusia yang pada akhirnya semua akan kembali kepada
Allah SWT untuk dipertanggungjawabkan perhatian yang besar terhadap
permasalahan ekonomi. Dalam
pandangan Islam, permasalahan ini tidak dapat diselesaikan hanya
melalui perubahan yang bersifat kosmetik belaka, diperlukan perubahan yang
bersifat mendasar mulai dari dasar filosofi yang akan membentuk teori
ekonomi Islam, yang kemudian akan membentuk prinsip-prinsip dan dasar-dasar sistem ekonomi Islam sehingga pada akhirnya
akan terbentuk secara otomatis perilaku Islami dalam ekonomi.
B.
Saran
Ekonomi dalam Islam mengajarkan
seorang muslim harus memperhatikan ketentuan-ketentuan syari’at, dimana Islam
sebagai way of life, sebagai rahmatan lil alamin telah
memberikan petunjuk kepada kita tentang bagaimana suatu keteraturan itu
dibentuk baik dunia maupun akhirat, termasuk aturan dalam bermuamalah atau kita persempit lagi, aturan berekonomi. Oleh sebab itu, sebagai seorang muslim
hendaklah kita dalam melakukan kegiatan ekonomi sesuai dengan dasar-dasar dan
prinsip-prinsip ekonomi Islam dan berlaku jujur.
DAFTAR PUSTAKA
Israk Ahmadsyah, Pengantar Ekonomi
Islam, Banda Aceh : Ar-Raniry, 2004.
Lukman Hakim, Prinsip-Prinsip
Ekonomi Islam, Surakarta : Erlangga, 2012.
Rozalinda, Ekonomi Islam, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2014.
matur suwun
BalasHapus