FIQH MUAMALAH : Perdagangan atau Jual Beli

 A. Pengertian Jual Beli

 Jual beli atau perdagangan dalam bahasa Arab disebut al-Ba’i yang secara bahasa berarti tukar menukar. Sedangkan menurut istilah (terminologi) jual beli adalah tukar menukar atau peralihan kepemilikan dengan cara pergantian menurut bentuk yang diperbolehkan oleh syara’ atau menukarkan barang dengan barang atau barang dengan uang, dengan jalan melepaskan hak milik dari seseorang terhadap orang lainnya atas kerelaan kedua belah pihak.

 B. Dasar Hukum Jual Beli

 Jual beli sebagai sarana tolong-menolong antara sesama umat manusia mempunyai landasan yang kuat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. terdapat beberapa ayat Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw yang berbicara tentang jual beli antara lain :

 1. Surat Al-Baqarah Ayat 275

 أَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَ... 
 Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba

 2. Surat Al-Baqarah Ayat 198
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوْا فَضْلاً مِنْ رَبِّكُمْ
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu.

 3. Surat An-Nisa’ Ayat 29
إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka di antara kamu.

 Dasar hukum jual beli berdasarkan sunnah Rasulullah, antara lain: 

 1. Hadist yang diriwayatkan oleh Rifa’ah Ibn Rafi’

 عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ : أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ ؟ قَالَ : عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ.

 “Rifa’ah bin Rafi’i berkata bahwa Nabi SAW ditanya, “Apa mata pencaharian yang paling baik? “Nabi menjawab, “Usaha tangan manusia sendiri dan setiap jual beli yang diberkati. “(Diriwayatkan oleh Bazzar dan disahkan oleh Hakim)

 2. Hadist dari Al-Baihaqi,Ibn Majah dan Ibn Hibban,Rasulullah menyatakan: 
 إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ

“ Jual beli itu didasarkan atas suka sama suka ” 


 C. Rukun dan Syarat Jual Beli 
a. Rukun Jual Beli 

Menurut ulama Hanafiyah, rukun jual beli itu hanya satu yaitu ijab dan kabul. 

Jumhur ulama menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat yaitu : 
1. Ada orang yang berakad atau al-muta’aqidain (penjual dan pembeli).
2. Ada sighat (lafal ijab dan kabul)
3. Ada barang yang dibeli.
4. Ada nilai tukar pengganti barang.


 b. Syarat-syarat Jual Beli
1. Syarat-syarat orang yang berakad 
a. Baligh berakal agar tidak mudah di tipu orang. 
b. Beragama Islam, syarat ini khusus kepada pembeli saja bukan penjual, hal ini dijadikan syarat karena dihawatirkan jika orang yang membeli adalah orang kafir, maka mereka akan merendahkan atau menghina islam dan kaum muslimin. 

2. Syarat-syarat yang terkait dengan ijab dan kabul
 a. Jangan ada yang memisahkan, pembeli jangan diam saja setelah penjual menyatakan ijab.
 b. Jangan diselingi dengan kata-kata lain antara ijab dan kabul.
 c. Beragama islam. 

3. Syarat-syarat yang terkait dengan barang yang diperjualbelikan
 a. Barang itu ada.
 b. Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia.
 c. Milik seseorang (penjual).
d. Diserahkan pada saat akad berlangsung.

4. Syarat uang atau nilai barang yang ditukar
 a. Suci, barang najis tidak boleh diperjualbelikan.
 b. Ada manfaatnya.
 c. Keadaan barang/uang dapat diserahterimakan.
d. Barang yang diperjualbelikan milik penjual atau yang mewakilinya.
e. Barang itu diketahui oleh pembeli dan penjual.

D. Macam- Macam Jual Beli
1. Jual Beli Murabahah
 a. Pengertian Jual Beli Murabahah

Kata Murabahah berasal dari kata ribhu (keuntungan). Sehingga murabahah berarti saling menguntungkan. Jual beli murabahah secara terminologis berarti menjual barang dengan sedikit menambah harga sebagai keuntungan. Maknanya ialah seorang penjual menjelaskan kepada si pembeli harga barang yang ia beli (harga modalnya), lalu ia meminta kepada pembeli untuk sedikit mmeberi tambahan dari harga aslinya sebagai keuntungan dia.

 b. Dasar Hukum Murabahah

Murabahah merupakan akad jual beli yang diperbolehkan, hal ini berlandaskan atas dalil-dalil yang terdapat dalam Al Qur’an adalah sebagai berikut :

1. “Hai orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu” (QS. An Nisa : 29).

 2. “...dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al Baqarah : 275)sah udioperasionalkan dalam praktik pembiayaan bank syariah karena ia merupakanjual beli dan t c.


c. Syarat-syarat Murabahah dan Ketentuan Umum Murabahah

 Syarat-syarat jual beli Murabahah :
1. Mengetahui harga awal (modal)
2. Mengetahui keuntungan yang diambil oleh pembeli.
3. Hendaklah barang yang menjadi modalnya termasuk barang yang mitsliyyat, seperti barang yang ditakar, ditimbang dan dihitung secara bijian.

 Ketentuan Umum Murabahah :
 1. Jual beli murabahah harus dilakukan atas barang yang telah dimiliki atau hak kepemilikan telah      berada ditangan penjual.
2. Adanya kejelasan informasi mengenai besarnya modal (harga pembeli) dan biaya-biaya lain yang lazim dikeluarkan dalam jual beli.
 3. Ada informasi yang jelas tentang hubungan baik nominal maupun presentase sehingga diketahui oleh pembeli sebagai salah satu syarat sah murabahah
4. Dalam system murabahah, penjual boleh menetapkan syarat kepada pembeli untuk menjamin kerusakan yang tidak tampak pada barang, tetapi lebih baik syarat seperti itu tidak ditetapkan.
5. Transaksi pertama (anatara penjual dan pembeli pertama) haruslah sah, jika tidak sah maka tidak boleh jual beli secara murabahah (anatara pembeli pertama yang menjadi penjual kedua dengan pembeli murabahah

d. Aplikasi Murabahah di Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS)

 Murabahah merupakan salah satu bentuk penghimpun dana yang dilakukan oleh perbankan syariah, baik untuk kegiatan usaha. secara umum, nasabah pada perbankan syariah mengajukan permohonan pembelian suatu barang. Dimana barang tersebut akan dilunasi oleh pihak bank syariah kepada penjual, sementara nasabah bank syariah melunasi pembiayaan bank tersebut kepada bank syariah dengan menambah sejumlah margin kepada pihak bank sesuai dengan kesepakatan yang terdapat pada perjanjian murabahah yang telah disepakati sebelumnya antara nasabah dengan bank syariah. Setelah itu pihak nasabah dapat melunasi pembiayaan tersebut baik dengan cara tunai maupun dengan cara kredit.


 2. Jual Beli Salam
 a. Pengertian Jual Beli Salam

Secara terminologi, jual beli salam ialah menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu barang yang ciri-cirinya disebutkan dengan jelas dengan pembayaran modal terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan dikemudian hari.Jual beli salam ialah menjual sesuatu yang tidak dilihat zatnya, hanya ditentukan dengan sifat, barang itu ada di dalam tanggungan si penjual. Misalnya si penjual berkata, “ Saya jual kepadamu satu meja tulis dari jati, ukurannya 140x100 cm, tingginya 75 cm, sepuluh laci, dengan harga Rp. 100.000,- “. Pembeli pun berkata, “ Saya beli meja dengan sifat tersebut dengan harga Rp. 100.000,-”. Dia membayar uangnya sewaktu akad itu juga, tetapi mejanya belum ada. Jadi, salam ini merupakan jual beli utang dari pihak penjual dan kontan dari pihak pembeli karena uangnya telah dibayarkan sewaktu akad.

 b. Dasar Hukum Salam

Landasan syariah dari jual beli salam terdapat di dalam Al Qur’an dan hadits:
 1. Dalam surat Al-Baqarah ayat 282: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”

2. Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. datang ke Madinah dimana penduduknya melakukan salaf (salam) dalm buah-buahan (untuk jangka waktu) satu, dua, dan tiga tahun. Beliau berkata: “Barang siapa melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui.”

 c. Rukun, Syarat dan Sifat Akad Salam

 Rukun Jual beli Salam :
1. Muslam atau pembeli
2. Muslam ilaih atau penjual
3. Modal atau uang
4. Muslam fiihi atau barang
5. Sighat atau ucapan.

 Syarat-syarat jual beli Salam :
1. Uangnya dibayar di tempat akad, berarti pembayaran dilakukan terlebih dahulu.
2. Barangnya menjadi utang bagi penjual.
3. Barangnya dapat diberikan sesuai dengan waktu yang dijanjikan. Berarti pada waktu dijanjikan barang tersebut harus sudah ada. Oleh sebab itu, men-salam buah-buahan yang yang waktunya ditentukan bukan pada musimnya tidak sah..
4. Barang tersebut hendaklah jelas ukuranny, takarannya, ataupun bilangannya, menurut kebiasaan cara menjual barang itu
5. Diketahui dan ditentukan sifat-sifat dan macam barangnya dengan jelas, agar tidak ada keraguan yang mengakibatkan perselisihan antara dua belah pihak. Dengan sifat itu, berarti harga dan kemauan orang pada barang tersebut dapat bebeda.
6. Disebutkan tempat menerimanya.

 d. Perbedaan Salam dengan Jual Beli (Biasa)
1. Dalam jual beli salam, perlu ditetapkan periode pengiriman barang, yang dalam jual beli biasa tidak perlu.
2. Dalam jual beli salam, komoditas yang tidak dimiliki oleh penjual dapat dijual; yang dalam jual beli biasa tidak dapat dijual.
3. Dalam jual beli salam, hanya komoditas yang secara tepat dapat ditentukan kualitas dan kuantitasnya dapat dijual, yang dalam jual beli biasa, segala komoditas yang dapat dimiliki bisa dijual, kecuali yang dilarang oleh Al Quran dan hadits.
4. Dalam jual beli salam, pembayaran harus dilakukan ketika mebuat kontrak yang dalam jual beli biasa, pembayaran dapat ditunda atau dapat dilakukan ketika pengiriman barang berlangsung. Jadi, kita dapat menyimpulkan bahwa aturan asal pelarangan jual beli yaitu tidak adanya barang, telah dihapuskan dengan pertimbangan kebutuhan masyarakat terhadap kontrak salam.

 e. Aplikasi Salam di Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS)

 Salam adalah transaksi jual beli dimana barang yang diperjualbelikan belum ada. Oleh karena itu, barang diserahkan secara tangguh sementara pembayaran dilakukan tunai. Bank bertindak sebagai pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Sekilas transaksi ini mirip jual beli ijon, namun dalam transaksi ini kualitas, kuantitas, harga dan waktu penyerahan barang harus ditentukan secara pasti. Dalam praktik perbankan, ketika barang telah diserahkan kepada bank, maka bank akan menjualnya kepada rekanan nasabah atau nasabah itu sendiri secara tunai atau secara cicilan. Harga jual yang ditetapkan oleh bank adalah harga beli bank dari nasabah ditambah keuntungan. Dalam hal bank menjualnya secara tunai biasanya disebut pembiayaan talangan (bridginng financing). Adapun dalam hal bank menjualnya secara cicilan, kedua pihak harus nmenyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Umumnya transaksi ini diterapkan dalam pembiayaan barang yang belum ada seperti pembelian komoditas pertanian oleh bank untuk kemudian dijual kembali secara tunai atau secara cicilan.

 3. Jual Beli Istishna’

 a. Pengertian Istishna’

Transaksi bai’ al-istisna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran: apakah pembayaran dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.

 b. Dasar Hukum Istishna’

 Ulama yang membolehkan transaksi ishtishna’ berpendapat, bahwa istishna’ disyariatkan berdasarkan sunnah Nabi Muhammad saw. bahwa beliau pernah minta dibuatkan cincin sebagaimana yang diriwayatkan Imam Bukhari sebagai berikut: “Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullah saw. minta dibuatkan cincin dari emas. Beliau memakainya dan meletakkan batu cincin di bagian dalam telapak tangan. Orang-orang pun membuat cincin. Kemudian beliau duduk di atas mimbar, melepas cincinnya, dan bersabda, “Sesungguhnya aku tadinya memakai cincin ini dan aku letakkan batu mata cincin ini di bagian dalam telapak tangan.” Kemudian beliau membuang cincinnya dan bersabda, “Demi Allah, aku tidak akan memakainya selamanya.” Kemudian orang-orang membuang cincin mereka.” (HR Bukhari) Ibnu al-Atsir menyatakan bahwa maksudnya beliau meminta dibuatkan cincin untuknya. Al-Kaisani dalam kitab Bada’iu ash-shana’i menyatakan bahwa istishna’ telah menjadi ijma’ sejak zaman Rasulullah saw. tanpa ada yang menyangkal. Kaum muslimin telah mempraktikkan transaksi seperti ini, karena memang ia sangat dibutuhkan.

 c. Rukun dan Syarat Jual Beli Istisnha’

 Rukun jual beli istishna’ yaitu :
1. Al-‘Aqidain (dua pihak yang melakukan transaksi) harus mempunyai hak membelanjakan
2. Shighat, yaitu segala sesuatu yang menunjukkan aspek suka sama suka dari kedua belah pihak, yaitu penjual dan pembeli.
3. Objek yang ditransaksikan, yaitu barang produksi.

 Syarat ishtishna’ menurut pasal 104-108 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah adalah sebagai berikut: 1. Bai’ istishna’ mengikat setelah masing-masing pihak sepakat atas barang yang dipesan
2. Bai’ istishna’ dapat dilakukan pada barang yang bisa dipesan
3. Dalam bai’ istishna’, identifikasi dan deskripsi barang yang dijual harus sesuai permintaan pemesana
4. Pembayaran dalam bai’ istishna’ dilakukan pada waktu dan tempat yang disepakat.
5. Setelah akad jual beli pesanan mengikat, tidak satupun boleh tawar- menawar kembali terhadap isi akad yang sudah disepakati
6. Jika objek dari pesanan tidak sesuai dengan spesifikasi, maka pemesanan dapat menggunakan hak pilihan (khiyar) untuk melanjutkan atau membatalkan pemesanan.

d. Perbedaan Istishna’ dengan Salam Menurut fuqaha Hanafiah, ada dua perbedaan penting antara salam dengan istisna’, yaitu :
 1. Cara pembayaran dalam salam harus di lakukan pada saat akad berlangsung, sedangkan dalam istisna’ dapat di lakukan pada saat akad berlangsung, bisa di angsur atau bisa di kemudian hari.
2. Salam mengikat para pihak yang mengadakan akad sejak semula, sedangkan istisna’ menjadi pengikat untuk melindungi produsen sehingga tidak di tinggalkan begitu saja oleh konsumen yang tidak bertanggungjawab.

 e. Aplikasi Istishna’ di Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS)

 Produk istishna’ menyerupai produk salam, tetapi dalam istishna’ pembayarannya dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali pembayaran. Skim istishna’ dalam bank syariah umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi. Bila nasabah membutuhkan pembiayaan untuk produksi sampai menghasilkan barang jadi, bank dapat memberikan fasilitas bai’ al-istishna’. Melalui fasilitas ini, bank melakukan pemesanan barang dengan harga yang disepakati kedua belah pihak (biasanya sebesar biaya produksi ditambah keuntungan bagi produsen, tetapi lebih rendah dari harga jual) dan dengan pembayaran di muka secara bertahap, sesuai dengan tahap-tahap proses produksi. Setiap selesai satu tahap, bank meneliti spesifikasi dan kualitas work in process tersebut, kemudian melakukan pembayaran untuk proses berikutnya, sampai tahap akhir dari proses produksi tersebut hingga berupa bahan jadi. Dengan demikian, kewajiban dan tanggung jawab pengusaha adalah keberhasilan proses produksi tersebut sampai menghasilkan barang jadi sesai dengan kuantitas dan kualitas yang telah diperjanjikan.

Bila produksi gagal, pengusaha berkewajiban menggantinya, apakah dengan cara memproduksi lagi ataupun dengan cara membeli dari pihak lain. Setelah barang selesai, maka status dari barang tersebut adalah milik bank. Tentu saja bank tidak bermaksud membeli barang itu untuk dimiliki, melainkan untuk segera dijual kembali dengan mengambil keuntungan. Pada saat yang kurang lebih bersamaan dengan proses pembelian fasilitas bai’ al-istishna’ tersebut, bank juga telah mencari potential purchaser dari produk yang dipesan oleh bank tersebut. Dalam praktikanya, potential buyer tersebut telah diperoleh nasabah. Kombinasi pembelian dari nasabah produsen dan penjualan kepada pihak pembeli itu menghasilkan skema pembiayaan berupa istishna’ paralel, dan apabila hasil produksi tersebut disewakan skemanya menjadi istishna’ wal-ijarah. Bank memperoleh keuntungan dari selisih harga beli (istishna’) dengan harga jual (murabahah) atau dari hasil sewa (ijarah).





DAFTAR PUSTAKA

Syarifuddin, Amir, Garis Besar Fiqh, Jakarta:Kencana, 2003.
Ghazaly, Abdul Rahman , Fiqh Muamalat, Jakarta : Kencana, 2010.
Suhendi, Hendi Fiqh Muamalah, (Jakarta : Rajawali Pers, 2014.
  ‘Isa bin Ibrahim ad-Duwaisy, Syaikh, Jual Beli yang dibolehkan dan yang dilarang, Bogor : Pustaka Ibnu Katsir, 2006.
Ali, Zainuddin,  Hukum Perbankan Syariah, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Rasjid, Sulaiman , Fiqh Islam, Bandung : Sinar Baru Al Gensindo,2012.
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, Jakarta:Kencana, 2012.
Syafi’i Antonio, Muhammad, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani,2001.


Komentar

Posting Komentar